A.
Pengertian,
Tugas dan Tanggungjawab Guru
1.
Pengertian
Guru
Mujtahid dalam bukunya yang berjudul “Pengembangan Profesi Guru”, mengutip Kamus Besar bahasa indonesia mendefinisikan guru adalah orang yang pekerjaan, mata pencaharian, atau profesinya mengajar.[1] Sri Minarti mengutip pendapat ahli bahasa Belanda, J.E.C. Gericke dan T. Roorda, yang menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat, dan pengajar. Sementara dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berarti guru, misalnya teacher yang berarti guru atau pengajar, educator yang berarti pendidik atau ahli mendidik, dan tutor yang berarti guru pribadi, guru yang mengajar di rumah, atau guru yang memberi les.[2]
Sementara Supardi dalam bukunya yang berjudul “Kinerja Guru” menjelaskan pengertian guru menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah jalur pendidikan formal.[3]
Selanjutnya dalam literatur kependidikan Islam, banyak sekali kata- kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti murabbi, mu’allim, dan
muaddib. Ketiga kata tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda- beda.[4] Menurut para ahli bahasa, kata murabbi berasal dari kata rabba yurabbi yang berarti membimbing, mengurus, mengasuh, dan mendidik. Sementara kata mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari ‘allama yu’allimu yang biasa diterjemahkan mengajar atau mengajarkan.[5] Hal ini ditemukan dalam surat Al Baqarah ayat 31 yang menjelaskan bahwa Allah mengajarkan kepada Adam nama semua benda, termasuk mangkuk besar. Kemudian mengemukakan nama-nama benda tersebut kepada para malaikat.[6] Dengan demikian, ‘allama disini diterjemahkan dengan mengajar. Istilah muaddib berasal dari akar kata addaba yuaddibu yang artinya mendidik.[7] Di samping itu, seorang guru juga biasa disebut sebagai ustaż.
Menurut Muhaimin, kata ustaż mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya, dan dikatakan profesional apabila pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang hidup di masa depan.[8]
Menurut Muhammad Muntahibun Nafis, guru adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, guru memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam sebagaimana dinyatakan dalam beberapa teks, di antaranya disebutkan: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”. Muhammad Muntahibun Nafis juga mengutip pendapat Al-Syauki yang menempatkan guru setingkat dengan derajat seorang rasul. Dia bersyair: “Berdiri dan hormatilah guru. dan berilah penghargaan, seorang guru hampir saja merupakan seorang rasul”.[9]
Kemudian selain yang telah dipaparkan di atas, dalam bahasa Arab guru juga sering disebut dengan mudarris yang merupakan isim fa’il dari darrasa, dan berasal dari kata darasa, yang berarti meninggalkan bekas, maksudnya guru mempunyai tugas dan kewajiban membuat bekas dalam jiwa peserta didik. Bekas itu merupakan hasil pembelajaran yang berwujud perubahan perilaku, sikap, dan penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan.[10] Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Kemudian guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau mushola, di rumah dan sebagainya.[11] Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah pendidik dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada lembaga pendidikan formal, informal maupun non formal yang bertanggungjawab secara dhohir maupun batin untuk mengantarkan peserta didik pada kesuksesan dunia maupun akhirat.
2.
Tugas dan Tanggungjawab
Guru
Menurut Mujtahid, tugas adalah aktivitas dan kewajiban yang harus diformasikan oleh seseorang dalam memainkan peranan tertentu.[12] Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1, dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[13]
Untuk menjabarkan rumusan tersebut di atas, berikut ini merupakan penjelasan guru sebagai pendidik, pembimbing, dan pelatih.
a.
Guru sebagai Pendidik
Mujtahid dalam salah satu tulisannya, mengutip pendapat Muchtar Buchori yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan mendidik adalah proses kegiatan untuk mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup pada diri seseorang.[14]
b.
Guru Sebagai Pembimbing
Tugas guru sebagai pembimbing terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan peserta didik yang dibimbingnya. Guru juga dituntut agar mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, dan membantu memecahkannya.
c. Guru sebagai Pelatih
Guru juga harus bertindak sebagai pelatih, karena pendidikan dan pengajaran memerlukan bantuan latihan keterampilan baik intelektual, sikap, maupun motorik. Agar dapat berpikir kritis, berperilaku sopan, dan menguasai keterampilan, peserta didik harus mengalami banyak latihan yang teratur dan konsisten. Kegiatan mendidik atau mengajar juga tentu membutuhkan latihan untuk memperdalam pemahaman dan penerapan teori yang disampaikan.[15]
Selain yang disebutkan di atas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga mencantumkan tugas guru yang terdapat dalam Bab IV Pasal 20, antara lain:
a.
Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil
pembelajaran.
b.
Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik
dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
c.
Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi
fisik tertentu atau latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi peserta didik
dalam pembelajaran.
d.
Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika. Memelihara dan memupuk persatuan
dan kesatuan bangsa.[16]
Berkaitan dengan tugas guru, Abidin Ibnu Rusn juga mengutip pendapat Al-Ghazali, beliau menyebutkan beberapa hal sebagai berikut.
a.
Guru ialah orang tua kedua
di depan murid
Seorang guru akan berhasil
melaksanakan tugasnya apabila
mempunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana orang tua terhadap anaknya
sendiri. Tugas guru tidak hanya menyampaikan pelajaran, tetapi juga berperan seperti orang tua.
b.
Guru sebagai pewaris
ilmu nabi
Seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, harus mengarah kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat. Guru harus membimbing muridnya agar ia belajar bukan
karena ijazah semata, hanya bertujuan
menumpuk harta, menggapai kemewahan dunia, pangkat dan kedudukan, maupun kehormatan dan popularitas, melainkan
untuk mengharap ridha Allah.
c. Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid Berdasarkan keikhlasan dan kasih sayangnya, guru selanjutnya
bertugas sebagai penunjuk
jalan bagi murid dalam mempelajari dan mengkaji pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Guru juga harus memberi
nasehat kepada murid untuk meluruskan niat, bahwa tujuan belajar tidak hanya untuk meraih prestasi
duniawi, tetapi yang lebih penting
adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri,
menyebarluaskannya, dan
mendekatkan diri kepada Allah.[17]
d. Guru sebagai Figur Sentral Murid
Al-Ghazali menasehatkan kepada setiap guru agar senantiasa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya. Ia harus mempunyai karisma yang tinggi. Di samping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing dan penunjuk jalan dalam masa studi muridnya.
e.
Guru sebagai motivator bagi murid
Guru harus memberikan peluang kepada murid untuk mengkaji berbagai ilmu pengetahuan, yakni memberikan dorongan kepada muridnya agar senang belajar.
f. Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
Menurut Al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan
perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia
6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun
berbeda dengan anak berusia 9-13 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah
Al-Ghazali mengingatkan agar guru dapat menyampaikan ilmu pengetahuan dalam proses belajar
mengajar sesuai dengan tingkat pemahaman murid.[18]
[1] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, (Malang:
UIN Maliki Press,
2011), hlm. 33.
[2]
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 107-108.
[3]Supardi, Kinerja Guru,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 8.
[4] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam..., hlm.108.
[5] Heri Gunawan, Pendidikan Islam:
Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 163.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
hlm. 6.
[7] Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafāsir, (Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim, t.t.), Jilid 1, hlm. 48.
[8]
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2014), hlm. 209-210
[9] Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras,
2011), hlm. 88
[10] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi:
Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan, (Jakarta:Amzah:
2013) hal.63
[11] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak
Didik dalam Interaksi Edukatif:
Suatu Pendekatan Teoretis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 31.
[12] Mujtahid, Pengembangan Profesi
Guru, hlm. 44
[13] Undang-Undang Guru dan
Dosen..., hlm. 3.
[14] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, hlm. 45.
[15] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, hlm. 50.
[16] Undang-Undang Guru dan Dosen..., hlm. 14-15
[17]
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 69-70
[18] Rusn, Pemikiran Al-Ghazali..., hlm. 73-74