Kamis, 27 Oktober 2022

(BAG 2) GURU KONTRASEPSI

 

A.    Pengertian, Tugas dan Tanggungjawab Guru

1.      Pengertian Guru

          Mujtahid dalam bukunya yang berjudul “Pengembangan Profesi Guru”, mengutip Kamus Besar bahasa indonesia mendefinisikan guru adalah orang yang pekerjaan, mata pencaharian, atau profesinya mengajar.[1] Sri Minarti mengutip pendapat ahli bahasa Belanda, J.E.C. Gericke dan T. Roorda, yang menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat, dan pengajar. Sementara dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berarti guru, misalnya teacher yang berarti guru atau pengajar, educator yang berarti pendidik atau ahli mendidik, dan tutor yang berarti guru pribadi, guru yang mengajar di rumah, atau guru yang memberi les.[2]

Sementara Supardi dalam bukunya yang berjudul “Kinerja Guru” menjelaskan pengertian guru menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah jalur pendidikan formal.[3]

Selanjutnya dalam literatur kependidikan Islam, banyak sekali kata- kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti  murabbi, mu’allim, dan

muaddib. Ketiga kata tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda- beda.[4] Menurut para ahli bahasa, kata murabbi berasal dari kata rabba yurabbi yang berarti membimbing, mengurus, mengasuh, dan mendidik. Sementara kata mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari ‘allama yu’allimu yang biasa diterjemahkan mengajar atau mengajarkan.[5] Hal ini ditemukan dalam surat Al Baqarah ayat 31 yang menjelaskan bahwa Allah mengajarkan kepada Adam nama semua benda, termasuk mangkuk besar. Kemudian mengemukakan nama-nama benda tersebut kepada para malaikat.[6] Dengan demikian, ‘allama disini diterjemahkan dengan mengajar. Istilah muaddib berasal dari akar kata addaba yuaddibu yang artinya mendidik.[7] Di samping itu, seorang guru juga biasa disebut sebagai ustaż.

Menurut Muhaimin, kata ustaż mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya, dan dikatakan profesional apabila pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang hidup di masa depan.[8]

Menurut Muhammad Muntahibun Nafis, guru adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, guru memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam sebagaimana dinyatakan dalam beberapa teks, di antaranya disebutkan: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”. Muhammad Muntahibun Nafis juga mengutip pendapat Al-Syauki yang menempatkan guru setingkat dengan derajat seorang rasul. Dia bersyair: “Berdiri dan hormatilah guru. dan berilah penghargaan, seorang guru hampir saja merupakan seorang rasul”.[9]

Kemudian selain yang telah dipaparkan di atas, dalam bahasa Arab guru juga sering disebut dengan mudarris yang merupakan isim fa’il dari darrasa, dan berasal dari kata darasa, yang berarti meninggalkan bekas, maksudnya guru mempunyai tugas dan kewajiban membuat bekas dalam jiwa peserta didik. Bekas itu merupakan hasil pembelajaran yang berwujud perubahan perilaku, sikap, dan penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan.[10] Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Kemudian guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau mushola, di rumah dan sebagainya.[11] Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah pendidik  dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada lembaga pendidikan formal, informal maupun non formal yang bertanggungjawab secara dhohir maupun batin untuk mengantarkan peserta didik pada kesuksesan dunia maupun akhirat.

2.      Tugas dan Tanggungjawab Guru

               Menurut Mujtahid, tugas adalah aktivitas dan kewajiban yang harus diformasikan oleh seseorang dalam memainkan peranan tertentu.[12] Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1, dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[13]

Untuk menjabarkan rumusan tersebut di atas, berikut ini merupakan penjelasan guru sebagai pendidik, pembimbing, dan pelatih.

a.       Guru sebagai Pendidik

Mujtahid dalam salah satu tulisannya, mengutip pendapat Muchtar Buchori yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan mendidik adalah proses kegiatan untuk mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup pada diri seseorang.[14]

b.      Guru Sebagai Pembimbing

Tugas guru sebagai pembimbing terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan peserta didik yang dibimbingnya. Guru juga dituntut agar mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, dan membantu memecahkannya.

c.       Guru sebagai Pelatih

Guru juga harus bertindak sebagai pelatih, karena pendidikan dan pengajaran memerlukan bantuan latihan keterampilan baik intelektual, sikap, maupun motorik. Agar dapat berpikir kritis, berperilaku sopan, dan menguasai keterampilan, peserta didik harus mengalami banyak latihan yang teratur dan konsisten. Kegiatan mendidik atau mengajar juga tentu membutuhkan latihan untuk memperdalam pemahaman dan penerapan teori yang disampaikan.[15]

Selain yang disebutkan di atas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga mencantumkan tugas guru yang terdapat dalam Bab IV Pasal 20, antara lain:

a.       Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.

b.      Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

c.       Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.

d.      Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[16]

Berkaitan dengan tugas guru, Abidin Ibnu Rusn juga mengutip pendapat Al-Ghazali, beliau menyebutkan beberapa hal sebagai berikut.

a.       Guru ialah orang tua kedua di depan murid

Seorang guru akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila mempunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana orang tua terhadap anaknya sendiri. Tugas guru tidak hanya menyampaikan pelajaran, tetapi juga berperan seperti orang tua.

b.      Guru sebagai pewaris ilmu nabi

Seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, harus mengarah kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat. Guru harus membimbing muridnya agar ia belajar bukan karena ijazah semata, hanya bertujuan menumpuk harta, menggapai kemewahan dunia, pangkat dan kedudukan, maupun kehormatan dan popularitas, melainkan untuk mengharap ridha Allah.

c.       Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid Berdasarkan keikhlasan dan kasih sayangnya, guru selanjutnya

bertugas sebagai penunjuk jalan bagi murid dalam mempelajari dan mengkaji pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Guru juga harus memberi nasehat kepada murid untuk meluruskan niat, bahwa tujuan belajar tidak hanya untuk meraih prestasi duniawi, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya, dan mendekatkan diri kepada Allah.[17]

d.      Guru sebagai Figur Sentral Murid

Al-Ghazali menasehatkan kepada setiap guru agar senantiasa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya. Ia harus mempunyai karisma yang tinggi. Di samping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing dan penunjuk jalan dalam masa studi muridnya.

e.       Guru sebagai motivator bagi murid

Guru harus memberikan peluang kepada murid untuk mengkaji berbagai ilmu pengetahuan, yakni memberikan dorongan kepada muridnya agar senang belajar.

f.       Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid

Menurut Al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak berusia 9-13 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah Al-Ghazali mengingatkan agar guru dapat menyampaikan ilmu pengetahuan dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tingkat pemahaman murid.[18]

 



[1] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 33.

[2] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 107-108.

[3]Supardi, Kinerja Guru, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 8.

[4] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam..., hlm.108.

[5] Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 163.

[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 6.

[7] Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafāsir, (Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim, t.t.), Jilid 1, hlm. 48.

[8] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2014), hlm. 209-210

[9] Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 88

[10] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, (Jakarta:Amzah: 2013) hal.63

[11] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoretis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 31.

[12] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, hlm. 44

[13] Undang-Undang Guru dan Dosen..., hlm. 3.

[14] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, hlm. 45.

[15] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, hlm. 50.

[16] Undang-Undang Guru dan Dosen..., hlm. 14-15

[17] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 69-70

[18] Rusn, Pemikiran Al-Ghazali..., hlm. 73-74

Senin, 12 September 2022

KHUTBAH JUMAT "MASIHKAH KITA MENGELUH MISKIN"

 

“MASIHKAH KITA MENGELUH MISKIN”

 

Ma,asirol muslimin rahimakumullah

Kita berharap dengan sangat, Semoga Allah SWT senantiasa memenuhkan hati kita dengan ketaqwaan dan kerinduan akan Rasulullah Muhammad SAW.

Tema khutbah saya kali ini adalah “masihkah kita mengeluh miskin”. Tema ini saya pilih karena akhir-akhir ini masih ada saudara-saudara kita yang mengeluhkan kondisi rizki kehidupan mereka. Mengeluh karena merasa dimiskinkan, merasa hidup semakin sulit, merasa rizkinya diambil oleh orang lain, bahkan menganggap Allah tidak adil dalam membagi nikmat dan rahmat.

Maasirol muslimin saudaraku rahimakumullah.

Diawal surat An Nahl Allah menyebutkan berbagai nikmat yang telah diturunkannya kepada manusia bahkan di ayat 18, Allah berfirman:

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).

 

Di akhir ayat “Allah benar-benar maha pengampun dan lagi maha Penyayang”

 Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 278), “Jika kalian tidak mampu menghitungnya, lebih-lebih untuk mensyukuri semuanya. Namun kekurangan dan kedurhakaan kalian masih Allah maafkan (bagi yang mau bertaubat, -pen), Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ibnu Katsir juga menjelaskan dalam kitab tafsirnya (4: 675), “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintah untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu dan bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu bisa dan itu bukan tanda Allah itu zholim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.”

Sebagai ilustrasi Ustadz Lukmanul hakim memberi contoh nikmat nafas atau oksigen, dalam 1 hari kita menghabiskaan 2880 liter Oksigen, jika dirumaah sakit harga 1 liter oksigen 30 rb, maka dalam satu  hari  kita akan menghabiskan 86.400.000..artinya dalam 1 bulan kita harus menyediakan uang 2.5 Milyar..1 tahun sama dengan 31 milyar lebih kalau Allah berikan kita umur 60 tahun maka hanya dengan satu nikmat oksigen saja kita harus menyediakan 18, 6 Triliyun, bagaiamana dengan paru2, hati , ginjal, darah..inilah yang dimaksud “La tuhsuha”. Kalau seperti ini, masihkah kita mengeluh bahwa kita miskin ? masihkan kita merasa faqir. Ternyata Jutaaan nikmat Allah, tidak sedikit yang telah kita sia-siakan, sifat sayang dan pengampun Allah, ternyata kita balas dengan kesombongan dan keangkuhan bahkan keserakahan. Saaudaraku..jangan sampai kita termasuk orang-orang yang Allah gambarkan dalam surat Ibrahim ayat 34.

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).


Di akhir khutbah ini resapilah nasihat Imam Ibnu Jarir Ath Thobari, “Sesungguhnya Allah memaafkan kekurangan kalian dalam bersyukur. Jika kalian bertaubat, kembali taat dan ingin menggapai ridho Allah, Dia sungguh menyayangi kalian dengan ia tidak akan menyiksa kalian setelah kalian betul-betul bertaubat.” Demikian beliau sebutkan dalam Jami’ul Bayan fii Ta’wil Ayyil Qur’an, 8: 119.

Semoga kita termasuk hamba Allah Allah yang besyukur..Aamiin..Aamiin..Aamiin

 

 

 

 

 

 

(BAG 2) GURU KONTRASEPSI

  A.     Pengertian, Tugas dan Tanggungjawab Guru 1.       Pengertian Guru           Mujtahid dalam bukunya yang berjudul “Pengemba...