PEMIKIRAN DAN TOKOH ALIRAN QODARIYAH, MU'TAZILAH DAN JABARIYAH
A. Pengertian Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut al-Syahrafani bahwa Jabariyah
berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan
perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu, aliran Jabariyah ini
menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan,
tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Secara bahasa Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus
Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat
dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara
istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Adapun mengenai latar
belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih.
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendapat yang lain
mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang
ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas
ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
B.
Pengertian Qodariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari
bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan
kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham
Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini
oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia
itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan
segala perbuatannya
C.
Pengertian Mu’tazilah
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya
adalah kata عزل yang berarti memisahkan
atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti
yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid,
meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata
I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf
disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka
bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau
terusir.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka
memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan
eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan
manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini.
Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi
kekuasaan.
D.
Tokoh Aliran Jabariyah
a. Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia
berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih
dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang
mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.
Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan
dengan teologi adalah;
1)
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm
tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang
surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat
Tuhan di akhirat.
2)
Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini,
pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah
3) Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an
adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya
tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin
dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
4)
Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah
manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka
itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga
dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal
b. Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di
Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang
membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di
sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran
Jahm, yaitu:
1)
Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang
baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2) Allah tidak memiliki sifat yang serupa
dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mengengar.
3)
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya
Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem,
dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari kedua golongan tersebut
terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu. Kelompok ekstrem memandang
bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak
mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan
tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya Sedangkan menurut kaum moderat,
tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;
a)
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar
(wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah.
Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1)
Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak”
artinya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif
maupun negative. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai
andil. Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai
aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan
kasb/acquisition
2)
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan
bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b) Adh-
Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia
tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian
dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia
turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
E.
Tokoh Aliran Qadariyah
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan
aliran Qadariyah, karena aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu
sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk didalamnya tokoh pencetus
aliran Qadariyah :
a.
Ibnu
Sauda’ Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi
Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama
Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.
b.
Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)
Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir
sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan
pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses.
Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini
mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya
para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma.
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal,
yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah
tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan
mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak
bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik,
meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang
mengikuti alirannya .
c.
Ghailan Ad-Dimasyqi
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy
yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin
Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya
pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia
pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul
Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya.
Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar
masalah-masalah takdir sekitar tahun 98 H. Dan juga dalam masalah ta’wil,
ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah irja. Para salaf pun
menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan
menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu,
Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi
ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya
telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya.
Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah dimintai taubat namun menolak
bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam Abdul al-Malik
(724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan dan
al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
d.
Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)
Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat pendahulunya
dan meracik antara bid’ah Qadariyah dengan bid’ah Mu’aththilah dan ahli ta’wil.
Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum
muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan
menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama
membantah pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia
tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun
pemikirannya.
para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi
tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah
Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai
menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah
menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham,
karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan
Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan
seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa
ini terjadi pada tahun 124 H.
e.
Al-jahm bin Shafwan
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam
beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin
Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta
menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta kesesatan
dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini
banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi
dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah
irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum
mati pada tahun 128 H
f.
Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid
Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin
Shafwan. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.
F.
TokohAliran Mu’tazilah dan Pemikirannya
a. Wasil bin Atha’
Wasil
bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah.
Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b. Abu Huzail al-Allaf
Abu
Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan
sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah
berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat
menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin
mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah
mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
c. Abu Huzail al-Allaf
Adalah
seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat.
Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini
adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan
Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh
Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan),
berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya
yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat
sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat
baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa
al-aslah.
d. Al-Jubba’i
Al-Jubba’I
adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia,
dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui,
berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya
(wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran
yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
e. An-Nazzam
An-Nazzam
: pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu
Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat
lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan
mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal
itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang
yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat
al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
G.
Sekte Ajaran Jabariyah
Menurut Syahrastani, terdapat tiga golongan dalam
Jabariyah, yaitu :
a.
Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan,
salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah.
Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha
Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang
dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena
penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan
makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.
b. Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M).
Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya
sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan,
sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat.
c. Dirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut
sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa
Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu
tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah).
Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian
besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun
kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama
sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai
sedikit kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya.
H.
Sekte Paham Qadariyah
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham
Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang
perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah
menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka mengkafirkan
kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah,
‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah,
Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih
Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari
Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi
golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap
golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari
golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu
dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan
penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa
banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah,
tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.
a.
Golongan
Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta
mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata
jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
b.
Qadariyah
majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam
penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa
yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala
merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
c.
Qadariyah
Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua
perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini
membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju
dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi
kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal
jamaah).
Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua,
yaitu:
a.
Qadariyah
yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir
b.
Qadariyah
yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.
Kita
tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang
islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan
kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap
bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham
qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah
umpamanya:
Artinya:
“Kaum
qadariyah merupakan majusi umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau
freewill dalam AlQur’an sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam?
Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang
boleh membawa kepada faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang
boleh membawa kepada faham jabariyah
A. Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang manusia
sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan
perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya,
perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham
Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham
dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan
Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.
Intinya
paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan
yang buruk tanpa campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
hidupnya. . Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama
free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu
kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.
Mu`tazilah
mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat,
dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh
golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang
dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam,
terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah
dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh
rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional,
tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian
mereka.
B. Saran
Setiap muslim bertanggung jawab
terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam, karena itu setiap orang islam
wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam kehidupan sehari-harinya agar
menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Montgomery. W. Islamic Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz:
http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D
http://gusriwandi.blogspot.com/2012/03/aliran-dalam-ilmu-kalam-qadariyah-dan.html