Kamis, 21 April 2022

PEMIKIRAN DAN TOKOH ALIRAN QODARIYAH, MU'TAZILAH DAN JABARIYAH

 PEMIKIRAN DAN TOKOH ALIRAN QODARIYAH, MU'TAZILAH DAN JABARIYAH

A.     Pengertian Jabariyah

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut al-Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu, aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

B.      Pengertian Qodariyah

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya

C.      Pengertian Mu’tazilah

Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.

Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.

D.    Tokoh Aliran Jabariyah

a.      Jahm bin Shafwan

Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.

Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;

1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.

2)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah

3)       Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.

4)      Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal

b.      Ja’ad bin Dirham

Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:

1)      Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.

2)       Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mengengar.

3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya

Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu. Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya Sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.

Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;

a)      An-Najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;

1)      Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil.  Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition

2)      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

b)   Adh- Dhirar

Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

E.              Tokoh Aliran Qadariyah

Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karena aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :

a.              Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi

Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.

b.      Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)

Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .

c.       Ghailan Ad-Dimasyqi

Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya.

Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98 H. Dan juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah irja. Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam Abdul al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.

d.      Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)

Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat pendahulunya dan meracik antara bid’ah Qadariyah dengan bid’ah Mu’aththilah dan ahli ta’wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya.

para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124 H.

e.       Al-jahm bin Shafwan

Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum mati pada tahun 128 H

f.       Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid

Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.

 

F.             TokohAliran Mu’tazilah dan Pemikirannya

a.       Wasil bin Atha’

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

b.      Abu Huzail al-Allaf

Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.

c.       Abu Huzail al-Allaf

Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.

d.      Al-Jubba’i

Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).

e.       An-Nazzam

An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.

 

G.           Sekte Ajaran Jabariyah

Menurut Syahrastani, terdapat tiga golongan dalam Jabariyah, yaitu :

a.      Jahmiyah

Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.

b.      Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat.

c.       Dirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah).
Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya.

 

H.             Sekte Paham Qadariyah

Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah, ‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah, Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.

Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.

a.              Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya, dan kami tidak mengharamkan apapun.

b.              Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.

c.              Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal jamaah).

Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu:

a.              Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir

b.              Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.

 

Kita tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah umpamanya:

Artinya:

“Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada faham jabariyah

A.    Kesimpulan

Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.

Intinya paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama  free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.

Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.

 

 

B.     Saran

Setiap muslim bertanggung jawab terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam, karena itu setiap orang islam wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam kehidupan sehari-harinya agar menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Montgomery. W. Islamic Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz:

http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D

http://gusriwandi.blogspot.com/2012/03/aliran-dalam-ilmu-kalam-qadariyah-dan.html



TUGAS

Jelaskan persamaan dan perbedaan antara aliran Qodariyah dengan Muktazilah serta pendapat anda dalam menyikapi aliran Jabariyah !
 

 


PEMIKIRAN DAN TOKOH ALIRAN MURJI'AH SERTA KHAWARIJ

 PEMIKIRAN DAN TOKOH ALIRAN KHAWARIJ SERTA MURJIAH

A.                Pemikiran dan Tokoh Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul.Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.

Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.

Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.

Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena  desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.

Jadi khawarij adalah  firqah bathil yang keluar dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Secara Historis khawarij merupakan “orang-orang yang keluar dari barisan Ali” Awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Namun pada perkembangan selanjutnya mereka juga adalah kelompok yang tidak mengakui kepemimpinan Muawiyah.

      1.            Pemikiran Kelompok Khawarij

Secara umum hasil pemikiran dari kelompok Khawarij adalah:

A.            Persoalan Khalifah

       I.            Kelompok khawarij mengakui khalifah-khalifah Abu Bakar, Umar dan separo zaman dari khalifah Ustman bin Affan. Pengangkatan ketiga khlalifah tersebut sah sebab telah dilaksanakan dengan Syura yaitu musyawarah. Akan tetapi diakhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan tidak diakui oleh mereka, karena khalifah telah melakukan penyelewengan dalam menetapkan pejabat-pejabat negara.

    II.            Khalifah Ali bin Abi Thalib, awalnya pengangkatan sebagai khalifah diakui oleh kelompok khawarij, namun kemudian khalifah melakukan dosa besar dengan menerima tahkim, maka mereka pun tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan menghukumnya kafir.

 III.            Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.

 IV.            Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.

    V.            Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.

B.     Persoalan Fatwa Kafir

     I.              Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir, karena itu halal darahnya, halal hartanya, halal anak istrinya dan kampung halamannya.

  II.              Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi thalib) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan mambenarkannya di hukum kafir.

C.     Persoalan Iman dan Ibadah

Kaum khawarij berpendapat bahwa yang dikatan “iman itu bukanlah pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, tetapi amal ibadat menjadi rukun iman pula” Barang siapa yang tidak mengerjakan sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang tersebut telah menjadi kafir.

D.    Persoalan Dosa

Bagi kaum khawarij semua dosa adalah besar, jadi mereka tidak mengenal perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. “sekalian pendurhakaan pada Tuhan (dosa) besar”.

 

      2.         Sebab Kemunculan KelompokKhawarij

a.        Fanatismekesukuan

Fanatisme kesukuan ini merupakan satu dari sebab-sebab munculnya Khawarij. Fanatisme kesukuan ini telah hilang pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar serta Umar, kemudian muncul kembali pada zaman pemerintahan Utsman dan yang setelahnya.  Dan  pada masa Utsman fanatisme tersebut mendapat kesempatan untukberkembangkarenaterjadipersaingandalam memperebutkan jabatan-jabatan penting dalam kekhilafahan sehingga Utsman di tuduh mengadakan gerakan nepotisme dengan mengangkat banyak dari keluarganya untuk menjabat jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya,dan inilah yang dijadikan hujjah oleh mereka untuk mengadakan kudeta terhadapnya.

b.        Faktorekonomi

Semangat ini dapat dilihat dari kisah Dzul Khuwaishiroh bersama Rasulullah dan kudeta berdarahnya mereka terhadap Utsman, ketika mereka merampas dan merampok harta baitul-mal langsung setelah membunuh Utsman, demikian juga dendam mereka terhadap Ali dalam perang jamal, ketika Ali melarang mereka mengambil wanita dan anak-anak sebagai budak rampasan  hasil  perang sebagimana perkataan mereka terhadap Ali: Awal yang membuat kami dendam padamu adalah ketika kami berperang bersamamu di hari peperangan jamal, dan pasukan jamal kalah, engkau membolehkan kami mengambil apa yang kami temukan dari harta benda dan engkau mencegah kami dari mengambil wanita-wanita mereka dan anak-anakmereka.

 

      3.            Doktrin-Doktrin dan Ajaran Pokok Khawarij

        1.          Doktrin Politik

a.       Pemerintahan yang bersifat demokratis.

 Khalifah atau imam harus dipilih dengan pemilihan umum secara bebas dan sah (demokratis) oleh seluruh umat Islam. Kekholifahan tersebut bisa berlanjut terus sepanjang tetap menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan sesuai dengan syari’at serta menyimpang dari kesalahan. Apabila menyimpang wajibdigulingkan atau dibunuh.

b.      Khalifah tidak harus dari keturunan Arab.

 Yang berhak menduduki jabatan khalifah tidak hanya terbatas pada orang-orang dari keturunan Quraisy, tetapi semua bangsa Arab maupun non Arab.

c.       Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sah, tetapi setelah peristiwa arbitase dianggap telah menyeleweng dari ajaran mereka.

d.      Muawiyah dan Amr bin Ash, juga Abu Musa al-Asy'ari dianggap menyeleweng dan telah menjadi Kafir.

e.       Pasukan Perang Jamal yang menyerang Ali juga kafir.

        2.          Bidang Teologi Orang yang berdosa besar, tidak dipandang dosa apapun (baik kecil maupun besar) termasuk sesuatu yang mereka anggap salah, mereka menghukumnya sebagai oarang kafir. Mereka mengambil argumentasi dari surah Al-Maidah ayat 44: wa man lam yah kum bimaa anza lallah faulafirun yang bermakna dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alloh mereka itulah oramg-orang kafir.

Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Seseorang harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng, seperti Utsman, Ali, Muawiyah, Abu Musa Al Asy’ari dan Amr Ibn Al-‘As. Adanya wa'd dan wa'id, menunjukkan konsekuensi bahwa orang baik harus masuk sorga, sedangkan orang yang jahat harus dimasukkan ke neraka. Dan orang-orang yang tidak bertaubat itulah orang kafir yang kekal didalam neraka. Menerima al-Qur'an sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam lainnya. Meka lebih berpegang kepada dhahirnya lafadz dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

      3.            Doktrin Sosial

a.       Amar ma'ruf nahi munkar; melakukan hal-hal yang menuju kepada kebaikan dan menjauhkan diri dari kejahatan atau permusuhan.sedangkan

b.      Menta'wil ayat-ayat al-Qur'an yang mustasyabihat; menjelaskan ayat Al-Qur’an yang masih perlu penjabaran atau penjelasan yang rinci

c.       Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan Tuhan.

B.        Pemikiran dan Tokoh Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu. Dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.

Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.

Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.

 

1.                    Pemikiran Kelompok Murji’ah

Kaum Murji’ah dilihat dari sisi pemikiran teologi mereka dapat di beradakan dalam dua golonganyang mana dua golongan ini sangat jauh berbeda dari satu dengan yang lainya, yaitu:

1.    Golongan Moderat

Ialah golongan yang berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak Kafir dan ia tidak akan kekal di dalam neraka, akan tetapi di sikasa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang pernah ia lakukan, dan kemudian setelah menjalani siksaan ia akan keluar dari neraka. Dan bisa saja jika dosanya di ampuni Tuhan, maka ia sama sekali tidak masuk neraka.

2.    Golongan Ekstrim.

Ialah golongan yang berpendapat iman ialah keyakinan di dalam Hati. Apabila seseorang di hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul Allah, meskipun ia meyatakan kekafiran dengan lidah, menyembah berhala, mengikuti agama Yahudi, dan Nasrani, memuja salib, mengakui trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap mukmin yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia termasuk golongan Ahli Surga.

Selanjutnya golongan Murji’ah Ekstrim terpecah kepada beberapa golongan, antara lain:

a.                   Al Jahmiyah

Adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Dan golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya di dalam hati, bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang seperti ini juga tidak menjadi kafir, walaupun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya

b.                   Al Shalihiyah

Adalah para pengikut Abu al Hasan Shalih Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Tuhan dan kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini, sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini berpendapat bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah hanyalah iman. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

c.                   Al Yunusiyah

Adalah pengikut Yunus Ibnu ‘Aun Al Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal Allah, hati tunduk pada-Nya, meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalm hati. Apalagi yang tersebut ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang mukmin. Sedangkan yang sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di dalam pandangan kaum Murji’ah, yang di sebut Imanitu hanyalahmengenalTuhan, golonganAl-Yunusiyah berkesimpulan bahwamelakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang.

d.                  Al Ubaidiyah

Golongan ini adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan golongan ini ,mereka berpandapat jika seseorang mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa dsan perbutan jahat yang di kerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang musrik atau orang yang kafir.

e.                   Al Ghassaniyah

Adalah pengikut Ghassan Al Kufi. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak secara rinci. Iman itu bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain itu golonagn ini juga berpendapat, jiak seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa Tuhan Mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah itu adalah kambing ini atau yang selainya”, maka orang tersebut tetap mukmin.Dan jika seseorang mengatakan:“Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan haji ke Ka’anh, tetapi saya tidak tahudimana letaknya ka’bah itu, apakah di India atau di tempat lain”,orang demikina juga tetap mukmin.

 

2.                    Sejarah Awal Mula Pemikiran Kalam Murji’ah

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah, diantaranya adalah: Mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari persengketaan politik

 Beberapa pakar mensinyalir bahwa gagasan irja atau arja’a, yang merupakan basis doktrin Islam, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Penggagas teori ini adalah Watt. Watt menegaskan teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah pada tahun 680 H, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan. Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun 695 H oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya, dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan,”kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkanUsman, ‘Ali dan Zubair (seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan sikap politik ini Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan ‘Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman

 Namun, dalam konteks historis lahirnya Aliran Murji’ah pada akhir abad pertama Hijrah pada saat ibukota kerajaan Islam dari Madinah pindah ke Kuffah kemudian pindah lagi ke Damaskus. Hal itu berawal dari adanya gejolak konflik politik imamah atau khilafat, pada pasca kholifah Usman Ibnu Affan. Kemudian berlanjut dan berkembang pada kholifah ke empat yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Sehingga tragedi atas terbunuhnya kholifah Usman oleh abdullah bin Salam dinyatakan bahwa kaum muslimin telah membuka pintu bencana baginya tidak akan tertutup hingga hari kiamat.

Sedangkan konflik politik yang bahkan sampai terjadi pertempuran antara kholifah Ali Ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah (seorang gubernur) yang diakhiri dengan cara arbitase atau tahkim. Walaupun Ali sendiri dalam menerima tahkim itu dalam keadaan terpaksa atas dorongan anak buahnya. Akan tetapi hal tersebut dalam fakta historis boleh dikatakan sebagai situasi yang membidani lahirnya aliran-aliran dalam islam, diantaranya aliran Murji’ah.

3.                    Doktrin-doktrin Aliran Ilmu Kalam Murji’ah

            Ajaran murji’ah pada dasarnya bersumber pada gagasan atau doktrin irja atau arj`a> yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis. Di bidang Politik, doktrin irja` diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya kelompok murji’ah dikenal sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.

 Adapun dibidang teologi , doktrin irja` dikembangkan murji`ah ketika menanggapi persoalan – persoalan teologis yang muncul pada saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan – persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencangkup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al Qur’an, eksatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal Islam, hakikat Al Qur’an, nama dan sifat Allah serta ketentuanNya.

 Dalam doktrin – doktrinnya murji`ah memiliki empat ajaran pokok :

 1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al Asy’`ari yang terlibat tah}kim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.

 2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.

 3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.

4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Berkait dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincikan sebagai berikut:

a)      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.

b)      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyiddin.

c)      Pemberian harapan (giving of hope) terhapad orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

d)     Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhad) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis

 Sementara itu, Abu ‘A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:

1)      Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.

2)      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hannya dengan menjauhkan diri dari syirikdan mati dalam keadaan akidah tauhid.

4.                    Tokoh-tokoh Penyebar Aliran Kalam Murji’ah Tokoh-tokoh aliran Murji’ah antara lain adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits lainnya. Selain itu, ada juga beberapa referensi dan keterangan para ulama menyatakan bahwa di antara tokoh-tokoh faham Murji’ah adalah sebagai berikut: Jahm bin Shufwan, golongan Al-Jahmiyah, Abu Musa Ash-Shalahi, golongan Ash-Shalihiyah, Yunus As-Samary, golongan Al-Yunushiya, Abu Smar dan Yunus, golongan As-samriah, Abu Syauban, golongan AsySyaubaniyah, Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimasqy, golongan Al-Ghailaniyah, Al-Husain bin Muhammad An-Najr, golongan AnNajariyah, Abu Haifah An-Nu’man, golongan Al-Hanafiyah, Muhammad bin Syabib, golongan Asy-Syabibiyah, Mu’adz Ath-Thaumi, golongan AlMu’aziyah, Basr Al-Murisy, golongan Al-Murisiyah, Muhammad bin Karam As-Sijistany, golongan Al-Kalamiyah.

Adapun pemimpin dari kaum Murji’ah adalah Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Salat as Samman (meninggal 152 H.) Tsauban, Dhirar bin Umar. Penyair mereka yang terkenal pada masa Bani Umayah adalah Tsabit bin Quthanah, yang yang mengarang sebuah syair tentang i’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pemikiran kelompok khawarij:

1.      Persoalan khalifah

2.      Persoalan fatwa kafir

3.      Persoalan iman dan ibadah

4.      Persoalan dosa

Tokoh Kelompok Khawarij:

1.    Urwah bin Hudair

2.    Najdah bin Uwaimir

3.    Mustaurid bin Sa’ad

4.    Quraib bin Marrah

     Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali (Syiah) dan Muawiyyah (Khowarij) muncullah aliran baru yaitu aliran murjiah yang menengahi (netral) diantara kedua aliran tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, A. (1974). Teologi islam / ilmu kalam . Jakarta : PT Bulan bintang .

Kumiadi, H. (2001). Aqidah kalam . Surabaya : Akik pusaka .

Rozak, A. (2001). ilmu kalam . Bandung: Pustaka setia.

Rubini. (juni 2018 ). khuwarij dan murji'ah perspektif ilmu kalam . jurnal kominikasi dan pedidikan islam , volume 7 nomor 1.

http://agungkharisma26.blogspot.com/2016/11/normal-0-false-false-false-false-en-us.html?m=1


TUGAS

Aliran Khawarij muncul karena ketidak puasan atas keputusan Sayyidina Ali Ra yang mengadakan arbitrase dengan pihak Muawiyah, bagaimana anda melihat sikap kelompok sempalan ini bila dilihat dari sudut teologi.. jelaskan!
 


(BAG 2) GURU KONTRASEPSI

  A.     Pengertian, Tugas dan Tanggungjawab Guru 1.       Pengertian Guru           Mujtahid dalam bukunya yang berjudul “Pengemba...