Senin, 16 Mei 2022

KHUTBAH IDUL FITRI 1443 H

 RAMADHAN JANGAN TINGGALKAN KAMI

Allahu Akbar 7 x, semoga dengan berkumandangnya takbir, hati kita terpenuhi rasa syukur kepada Allah, dan rasa rindu kepada Rasulullah...Aamiin

Hadirin Rahimakumullah...Hari ini kita merasakan kebahagiaan karena status taqwa disandangkan oleh Allah pada orang2 beriman yang telah melaksanakan kewajiban berpuasa sebulan ramadhan..(surat Albaqarah 183)...Tapi hadirin sekalian..rupanya kebahagiaan ini tidak dirasakan oleh petala langit dan bumi, bahkan malaikat Jibrilpun ikut bersedih dan menangis..ini diceritakan oleh Rasulullah dalam hadist Sa’id Al Hudry...para sahabat bertanya mengapa mereka menangis Ya Rasulullah ? rasulullah menjawab “dzahaba Ramadhan”, Ramadhan telah pergi tapi masih banyak ummatku yang belum melakukan banyak amal shalih, bahkan tidak malu melakukan maksiyat..Ini rasulullah sabdakan 15 abad yang silam...Hari ini rupanya tangisan malaikat Jibril  dan para sahabat nabi bagi sebagian orang tidak berpengaruh sama sekali, buktinya...walaupun Ramadhan masih ada yang maksiyat, masih ada yang ghibah, masih ada yang tidak berpuasa, karuan kalau bersembunyi masih mending, la ini..sudah nggak puasa, bangga lagi di depan orang..Padahal Kata rasulullah “ lau Ta’lamu Ummati ma fi ramadhan, Latamannauna kullu sanatin Ramadhana” Seandainya Ummatku tahu apa yang ada dalam bulan ramadhan, pasti mereka meminta agar selama satu tahun dijadikan bulan ramadhan semua.

Allahu akbar walillahil hamd

Tapi Dulur2 sedanten...sekarang di hari yang penuh suka dan suci ini, bagi yang masih mempunyai orang tua, datangilah, mintalah maaf, ciumlah tangan dan peluklah mereka sebelum kalian hanya bisa memeluk batu nisannya, buatlah mereka tersenyum sebelum kamu menagis karena ditinggalkannya, jika kalian tidak mampu memberi hadiah mewah yang mampu membuat mereka bahagia cukuplah kata kata lembut yang mendamaikan hati dan menyejukkan perasaannya mereka..Allah tidak akan menyandingkan berkah hidup pada kalian di dunia jika dirumah  masih ada anak yang berani dan durhaka kepada ke dua orang tuanya “La yadkhulul malaikatul barakoh fil baiti in kanat ‘aaqulllilwalidaini”. Bagi panjenengan yang sudah ditinggalkan orang tua, doakan tiap waktu, ziarahi makamnya, sambunglah silaturrahim dengan orang-orang yang disuka dan dicinta oleh orang tua, teruskan amal ibadah baik yang menjadi amalan mereka. Mereka ada di alam barzakh, alam sekat antara alam dunia dan alam akhirat, mereka bisa melihatmu, melihat perilakumu. Selagi mereka berdua masih hidup kita sudah sering membuat mereka sedih, kecewa bahkan membuat mereka menangis, apakah kita hendak lebih membuat mereka mengucurkan air mata, karena melihat kita tidak bisa akur dengan saudara, melihat kita rebutan warisan, menyaksikan kita tidak pernah berdoa kepada mereka. Jangan lebih sakiti mereka, buatlah mereka tersenyum..senyum mereka akan mendatangimu dalam mimpi-mimpimu, barokah rizki akan menyertaimu. Dengan senyum ke dua orang tuamu maka jembatan siratal mustakim yang sekecil rambut dibelah tujuh akan menjadi lebar selebar dunia, dan lubang rizkimu yang sekecil semut akan menjadi seluas dunia dan seisinya.

Yang ke dua

Datangi saudaramu, jangan berpikir engkau lebih tua atau lebih berharta, karena jika kita tidak pernah mengunjungi saudara, tidak pernah meringankan beban hidupnya, maka berarti kita sudah memutis tali silaturrahim dengan saudara kita.

Yang terakhir

datangi tetanggamu..jemput uluran tangannya..ucapkan kata maaf kepada mereka karena engkau sengaja atau tidak pasti ada perilakumu yang menyinggung atau mengecewakan tetanggamu..ndak usah malu apalagi menganggap kamu lebih berada atau lebih punya dari pada mereka...kalau njenengan merasa  levelmu lebih tinggi daripada tetanggamu berarti njenengan menggunakan logika iblis ketika disuruh sujud oleh Allah kepada Nabi adam..Maka inilah saatnya mengaku dan meminta, inilah saatnya memberi dan menyuka..inilah suci..inilah fitri jika kita merasa sama di hadapan Sang pencipta....barokah..barokah barokah fi kulli umurikum...Aamiin..aamiin..aamiin Ya robbal Aalamin

Kamis, 12 Mei 2022

Pemikiran Dan Tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah Asy’ariyah Dan Maturidiyah

 PPemikiran Abu Al Hasan Al Asy ary

Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu Al-hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdab bin Abi Musa Al-asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.

Menurut Ibn Asakir, ayah Al-asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadist. Ia wafat ketika Al-asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar mendidik Al-asy’ari. Ibu Al-asy’ari, sepeninggal Ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Al- jubbai. Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-jubbai dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.

Al-asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Selain itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan Jama’ah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Al-asyari meninggalkan fahan Mu’tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke 10, ke 20, dan ke 30 bulan Ramadhan. Dalam ketiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Jadi, Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan al- Asy'ari (w.324 H/935 M). Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari pemikiran dari Abu Muhammad bin Kullab dalam meyakini sifat-sifat Allah.

doktrin teologi dan pemikiran Aswaja Asy’ariy


Formulasi pemikiran Al-asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim disatu sisi dan mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya,

pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah(teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab).

Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :

a.       Tuhan dan sifat-sifatnya

Perbedaan pendapat dikalangan Mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah SWT tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al- asy’ari dihadapkan pada 2 pandangan ekstrim. Disatu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah memiliki semua sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan sunnah dan sifat- sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat banwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensinya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kusri tidak bolehdiartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi 2 kelompok tersebut Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis ( berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tak terpisah dari esensinya. Dengan demikian, tak bebeda dengannya.

b.      Kebebasan dalam berkehendak (free-will)

Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pra-determinisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (Muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).

c.       Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.

Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat antara mereka. Al- asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, berdasarkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.

d.      Qadimnya Al-Qur’an

Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan Qadimnya Al- Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak Qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang Qadim dan yang tak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah Qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandanganyang saling bertentangan itu, Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak Qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan Q.S. An-Nahl [16]: 40 yang artinya : “ Jika kami menghendaki sesuatu. Kami bersabda, “Terjadilah” maka ia pun terjadi “.

e.       Melihat Allah

Al-asy’ari tak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayan di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat.Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

f.          f. Keadilan

Pada dasarnya Al-asy’ariyah dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-asy’ariyah tidak sependapat

dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa mu’tzilah mengartikan keadilan dari visi manusia yan memiliki dirinya, sedangkan Al-asy’ariyah dari visi bahwa Allah aadalah pemilik mutlak.

g.      Kedudukan orang berdosa

Al-asy’ariyah menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupkan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

 Pemikiran Abu Mansur Al Maturidy

Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diktahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/ 944 M. Gurunya dalam bidang Fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahaya Al-Balakhi. Beliau wafat pada tahun 268 H. Al- Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274/ 874-861 M.

Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripda fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya diantaranya ialah kitab tauhid,ta’wil Al- Qur’an, makhaz asy-syara’i, al-jadl, ushul fi ushul ad-din, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu risalah fi al-aqaid dan syarh fiqh al-akbar.

Dapat disimpulkan, bahwa aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Dilihat dari metode berpikir aliran Maturidiyah, berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara'. Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-qur'an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan Al Asyari. Menurut Al Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.

 

a.       Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Dalam masalah baik buruknya, ia berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri,sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam yaitu:

1.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu

2.      Akal dengan sendirinya hanya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu

3.      Akal tak mengtahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

b.      Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat(ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya(kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada

pertentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah(kehendak) dan ridha(kerelaan).

c.       Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan

Telah diuraikan diatas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan tuhan. Akan tetapi, pernyatan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang- wenang serta kehendak-Nya semata. Hal ini karena qudrat tuhan tak sewenang- wenang(absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai hikmah dan keadilan yang sudah diciptakan-Nya sendiri.

d.      Sifat Tuhan

Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat- sifat tuhan itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ainad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud sendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbiangnya yang qadim (taaddud al- qudama).

Tampaknya faham Al-Maturidi tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-maturidi tentang adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.

e.       Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23.

Al-maturidi lebih lanjutmengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya ( bila kaifa ), karena keadaan di akhirat tak sama dengan keadaan di dunia.

f.       Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam dengan kalam nafsi(makna abstrak), kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata- kata ialah baharu(hadist).

Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ariyah juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-Maturidiyah, karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidiyah dan itu memang bersifat kekal.

g.      Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidiyah, tidak ada ssuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tak ada yang memaksa atau membatasi kehendak tuhan, kecuali krna adanya hikmah dan keadilan yang ditentukan-Nya. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:

1.      Tuhan tak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.

2.      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h.      Pengutusan Rasul

Akal tak selamanya mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, saperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu, menuru Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya kepada akalnya.

Pandangan Al-Maturidi ini tak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

i.        Pelaku dosa besar (murtakib al-kabir)

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena tuha telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tak akan menyebabkan pelakunya kekal didalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar(selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.



TUGAS

Jelaskan persamaan dan perbedaan konsep Al Asy'ary dengan Al Maturidy tentang Perbuatan Manusia, menurut anda mana konsep yang lebih rasional, sertailah dengan alasan anda!


(BAG 2) GURU KONTRASEPSI

  A.     Pengertian, Tugas dan Tanggungjawab Guru 1.       Pengertian Guru           Mujtahid dalam bukunya yang berjudul “Pengemba...